Antara Panas Terik dan Teduh Ingatan

Reyhan Majid
5 min readAug 17, 2023

--

Patrick Chondon / EyeEm//Getty Images

Bagaimana cara saya menjelaskannya. Mungkin begini, saya beberapa kali merindukan kesan pertama atas kejadian tertentu di hidup saya. Kesan pertama yang saya rindukan tentu saja kesan baik. Hal demikian menjadi pantas saya rindukan sebab, meski saya melakukan hal yang serupa, kesan pertama itu tidak bisa terulang. Ia mengendap di satu lintasan waktu dan hanya bisa saya kunjungi sesekali lewat rindu tadi.

Saya merindui kesan pertama saya makan Nasi Orak-Arik telur di burjo langganan saya, saat itu rasanya enak sekali, kini sudah biasa saja. Atau di kasus lain saya merindukan kesan pertama ketika mengetahui Franz Magnis pernah bertemu Habermas di stasiun bawah tanah Munchen. Kini ketika saya menonton video itu lagi di Youtube, rasanya biasa saja.

Kesan pertama lain adalah ketika menonton film The Karate Kid (2010), jadi salah satu kesan yang saya rindukan. Saat itu saya kelas enam sekolah dasar. Saya pergi menonton di bioskop bersama teman saya; teman karib saya. The Karate Kid, membuat saya terkesan pada hubungan antara Dre Parker (Jaden Smith) dengan Mr. Han (Jackie Chan). Kedua tokoh ini menyajikan hubungan ayah dan anak yang untuk saya itu mengesankan, meski dalam film itu Dre dan Mr. Han tidak memerankan peran ayah dan anak.

Dre baru saja pindah dari Detroit, Michigan ke Beijing. Ibunya pindah tugas, sehingga Dre harus ikut pindah. Mr. Han sebagai orang lokal, kelak menjadi guru karate bagi Dre. Tak hanya melatih bela diri, Mr. Han mengajarkan banyak hal untuknya. Mulai dari etika, bahasa, semangat juang, hingga kepercayaan diri, semua diajarkan Mr. Han kepada Dre.

Saya tumbuh besar dengan tidak banyak waktu bersama Ayah saya. Atas urusan pekerjaan dan urusan lain yang saya tak mengerti, dia sering tak ada di rumah. Membuat apa yang dilakukan Mr. Han kepada Dre sangat membekas di hati saya. Untuk usia saya saat itu, saya ingin diperlukan seperti Dre. Di sela-sela film, saya menangis. Rasa harus telah sampai di ujung mata saya. Teman karib saya juga menangis. Bedanya, dia menangis dipelukan ayahnya yang mengantar kami berdua.

Waktu cepat sekali berlalu sejak saya menonton The Karate Kid. Saya sudah lulus kuliah. Kedua orang tua semakin tua. Nenek saya lebih tua lagi. Sudah hampir dua puluh tahun dia hidup sendiri sejak kakek saya meninggal dunia. Anak-anaknya tersebar di Jakarta dan Jogja, membuat dia tinggal sendirian di rumah besar di Solo. Atas kesendirian ini, Bibi saya memutuskan membawanya ke Jakarta; tinggal bersamanya. Sejak saat itu, keluarga saya tak pernah pulang ke Solo tiap libur lebaran.

Satu kali saya diminta oleh ayah saya ke rumah Nenek di Surakarta. Seorang tukang diminta untuk memperbaiki atap yang bocor dan saya diminta membukakan pintu rumah. Sejak nenek diboyong ke Jakarta, kunci rumah dipercayakan ke keluarga saya. Siang itu saya sampai lebih dahulu. Saya masuk ke rumah berkeliling. Saya tak membayangkan bagaimana tinggal sendirian di rumah sebesar ini.

Rumah ini dulu khas berbau minyak kayu putih dan balsem Nenek. Kadang bau pesing juga menyeruak di dari kamar Nenek. Ia kesulitan berjalan, kondisi itu membuat ia tak sempat sampai kamar mandi sebelum kencingnya tumpah. Kini rumah tua besar itu bau jamur dan debu. Beberapa perabotan ditutupi plastik agar tak lembab atau tertimbun debu.

Saya memasuki ruang keluarga. Tempat di mana terdapat televisi tabung besar yang saya hafal betul harus dipukul bokongnya supaya mau menyala. Saat saya kecil, di muka televisi ini biasa digelar karpet dan kasur. Para cucu tidur berjejer bersama di ruangan ini. Saya memasukan tangan saya ke jaket dan tersenyum mengingat hal itu. Kesan pertama yang tak akan pernah terulang.

Mata saya jelalatan di ruangan itu, seakan tak pernah ke sana sebelumnya. Saya melihat jam dinding besar yang angkanya ditulis dengan angka arab, melihat rak kaca yang di dalamnya terdapat piring dan gelas yang sejak kecil kami dilarang membukanya, kemudian mata saya berhenti di pigura foto yang dipajang di atas rak kaca tadi. Ada beberapa foto, namun yang menyita perhatian saya adalah foto keluarga saya. Biasanya, tiap lebaran, masing-masing keluarga, baik paman saya, bibi saya, dan tentu saja keluarga saya mengambil foto.

Di foto itu saya masih kecil. Adik saya dalam gendongan Ibu saya. Ayah merangkul pundak Ibu dan mereka terlihat begitu muda. Kakek dan Nenek selalu tua, namun senyum di wajah mereka tak pernah sama seingat saya setelah foto itu. Foto itu diambil di dekat dapur. Dinding, kulkas, cahaya yang masuk lewat jendela, senyum Ibu, semua meresonansi pikiran saya atas satu kesan pertama di masa lalu yang tak akan terulang. Foto itu melempar saya pada satu kondisi yang terasa lebih mudah dan sederhana. Bukan perihal sekadar saya masih kecil saat itu, semua memang betul-betul sudah berubah.

Singkat cerita atap sudah ditambal. Saya memberikan upah perbaikan kepada Si Tukang sesuai dengan yang ayah saya perintahkan di rumah. Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci, saya segera memacu motor saya pulang ke Jogja. Jalanan Jogja dan Solo; jalanan antara Jogja dan Solo banyak berubah. Entah perasaanku saja, atau memang begitu adanya.

Jalanan semakin padat, Jalan Solo semakin gersang, debu semakin banyak berterbangan atas pembangunan tol Jogja-Solo. Karena lampu merah, saya berhenti lampu merah Prambanan. Kendaraan mengekor panjang, saya meliak-liuk di selanya. Saya berhenti di separuh garis zebra cross. Dari arah lampu merah yang lain, kendaraan melaju cepat dan deru klakson menyambar-nyambar. Lewat kaca spion saya melihat bus dan truk antri di belakang. Semua disempurnakan dengan matahari yang mengangkang tepat di atas kepala. Dalam kondisi yang cukup runyam ini, sekelompok pengamen asik dangdutan dengan angklung yang memandu nada. Saya perlu memiringkan stang motor demi memberi jalan untuk orang yang bertugas mengumpulkan receh. Saya kadang penasaran, ide siapa yang mengusulkan dangdutan siang bolong di lampu merah Prambanan. Dangdut dan siang terik, sungguh bukan kombinasi yang baik.

Di lampu merah lain dengan dengan terik yang kurang lebih sama, manusia silver, kadang badut Teletubbies saling beradu gaya di zebra cross sebelum mengumpulkan pundi rupiah. Manusia bisa menjadi sangat sakti demi menyambung hidup. Seingat saya dulu, perjalanan Jogja-Solo tak pernah sesesak dan seribut ini. Perjalanan Jogja-Solo, selalu menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Tapi sekali lagi, banyak hal sudah berubah. Bukan bermaksud meratapi, mungkin konsekuensi menjadi dewasa adalah semakin peka terhadap masalah disekitar. Oleh sebab itu kesan mudah dan sederhana di masa lalu selalu dirindukan. Selain saya sendiri, saya juga menyadari bahwa beberapa orang disekitar saya sering menangis.

Nenek menangis merindui Kakek, Ayah menangis di pernikahan adik saya, ibu menangis sebab anaknya harus keluar dari rumah; tinggal bersama istrinya. Seorang yang saya anggap guru yang bijak menangis lebih kerap sebab teman seangkatannya mulai banyak yang meninggal. Teman-teman saya menangis karena gagal mendapat pekerjaan, gagal dalam percintaan, dan lain sebagainya. Sementara saya lebih sering menangis sebab saya begini-begini saja.

Dalam perjalanan waktu, manusia meninggal satu per satu, ekonomi naik turun tak menentu, tak ada lagi bekerja tetapi “yang penting kerja”, dan sampah tak bisa dibuang ke tempat pembuangan akhir. Saya tak hendak bilang semua yang ada di belakang lantas indah dan baik-baik saja. Namun setelah apa yang terjadi, kesan pertama yang tertinggal di belakang sangat saya rindukan. Dan setelah semua ini, saya berusaha mengingat sebanyak mungkin, sambil sesekali berusaha menciptakan kesan baru yang layak untuk dirindukan.

--

--

Responses (1)